Pendidikan Jasmani, Mata Pelajaran yang Sering Diremehkan tapi Menyelamatkan Bangsa


Dr. Muhammad Iqbal, M.Pd., AIFO, Dosen PJKR FKIP Universitas Syiah Kuala, Ketua IGORNAS Provinsi Aceh

Tahun ini, bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80. Delapan dekade sudah negeri ini berdiri dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Namun, di balik semangat kemerdekaan, ada tantangan besar yang kita hadapi: menyiapkan generasi sehat, kuat, dan tangguh agar mampu menjaga Indonesia tetap berdiri kokoh di masa depan.

Sayangnya, realita hari ini menunjukkan hal sebaliknya. Generasi muda kita semakin larut dalam dunia digital. Waktu bermain di lapangan tergantikan oleh waktu berjam-jam menatap layar gawai. Fenomena ini mengkhawatirkan karena berimplikasi langsung terhadap kebugaran jasmani anak-anak bangsa.

Riset global yang dilakukan oleh Guthold et al. (2020) dalam The Lancet Child & Adolescent Health menemukan bahwa lebih dari 81% remaja di dunia tidak mencapai rekomendasi aktivitas fisik minimal. Di Indonesia, Riskesdas 2018 (Kemenkes RI) juga menunjukkan tren meningkatnya obesitas dan menurunnya kebugaran anak sekolah. Ini berarti generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan cita-cita kemerdekaan sedang menghadapi ancaman krisis kesehatan.

Kabar baiknya, Qanun Keolahragaan Aceh (Peraturan Daerah) baru-baru ini berupaya mengembalikan budaya sehat di sekolah dengan mewajibkan senam pagi pada setiap satuan pendidikan. Tidak hanya itu, qanun tersebut juga mengamanatkan adanya tes kebugaran jasmani minimal dua kali setahun untuk memantau perkembangan kesehatan fisik peserta didik.

Yang sangat penting untuk ditekankan adalah, pelaksanaan tes kebugaran jasmani diharapkan dilakukan langsung oleh guru-guru PJOK pada setiap satuan pendidikan. Hal ini karena hanya guru olahraga yang memahami aktivitas jasmani peserta didik sehari-hari, mengetahui perkembangan kemampuan fisiknya, serta mampu melakukan evaluasi yang tepat. Dengan demikian, data hasil tes kebugaran dapat benar-benar mencerminkan kondisi riil anak, dan bisa dijadikan dasar dalam perencanaan pembelajaran maupun kebijakan kesehatan sekolah.

Di tengah situasi ini, Pendidikan Jasmani (Penjas) di sekolah tetap menjadi garda terdepan. Penjas tidak boleh lagi dipandang sebelah mata. Di dalamnya terkandung misi penting: membentuk karakter sehat, disiplin, sportif, serta menanamkan budaya hidup aktif yang akan memperkuat daya tahan bangsa.

Jika dulu para pejuang mengangkat senjata demi kemerdekaan, maka hari ini perjuangan kita adalah melawan “penjajahan gaya hidup tidak sehat” yang datang dari era digital. Melalui Penjas, ditambah dukungan kebijakan daerah seperti Qanun Keolahragaan Aceh, kita dapat memastikan anak-anak Indonesia tumbuh kuat secara fisik, cerdas secara mental, dan tangguh menghadapi tantangan global.

Momentum 80 tahun kemerdekaan Indonesia harus kita jadikan refleksi bersama. Kemerdekaan sejati tidak hanya berarti bebas dari penjajahan, tetapi juga merdeka dari penyakit, kemalasan, dan ketergantungan pada gadget. Upaya Aceh melalui qanun keolahragaan untuk mengembalikan senam pagi dan tes kebugaran jasmani yang dilaksanakan oleh guru PJOK patut menjadi contoh nasional bahwa kebugaran anak bangsa adalah investasi terbesar untuk masa depan Indonesia.

Bangsa yang sehat adalah bangsa yang kuat, dan hanya bangsa yang kuat yang mampu menjaga kemerdekaan untuk selama-lamanya.

  1. Guthold, R., Stevens, G. A., Riley, L. M., & Bull, F. C. (2020). Global trends in insufficient physical activity among adolescents: a pooled analysis of 298 population-based surveys with 1.6 million participants. The Lancet Child & Adolescent Health, 4(1), 23–35.
  2. Kementerian Kesehatan RI. (2018). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
  3. Nugroho, H., & Astuti, P. (2019). Tingkat kebugaran jasmani siswa sekolah dasar. Jurnal Olahraga Pendidikan Indonesia, 5(2), 45–52.
  4. CDC. (2022). Physical Activity Facts. Centers for Disease Control and Prevention.
  5. World Health Organization. (2021). Physical activity among children and adolescents in Europe: a cross-sectional study. Copenhagen: WHO Regional Office for Europe.