Belajar Matematika Lewat Asam Kana: Tradisi Dimasak, Logika Diasah
Banda Aceh, Februari–Juni 2025 – Upaya menjadikan matematika lebih dekat dan membumi dalam kehidupan siswa kini mendapatkan wujud nyata melalui sebuah kegiatan pelatihan guru yang digelar di SD Negeri 57 Banda Aceh. Kegiatan yang berlangsung dari Februari hingga Juni 2025 ini merupakan bagian dari program pengabdian masyarakat yang diinisiasi oleh tim dosen dari Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Syiah Kuala (USK). Dengan pendekatan inovatif berbasis Project-Based Learning (PjBL), pelatihan ini menawarkan cara baru dalam merancang pembelajaran matematika yang sarat makna, dengan mengangkat makanan tradisional Aceh, Asam Kana, sebagai media pembelajaran yang kontekstual.
Asam Kana dipilih bukan sekadar karena kekayaan rasanya yang khas, tetapi juga karena proses pembuatannya yang menyimpan banyak elemen matematika praktis. Dalam pelatihan ini, para guru diajak untuk mengemas pembelajaran matematika ke dalam dua kegiatan utama yang bersumber dari aktivitas nyata dan akrab dalam kehidupan siswa. Yang pertama adalah merancang kemasan Asam Kana menggunakan bentuk-bentuk bangun ruang seperti kubus, balok, tabung, hingga prisma segitiga. Aktivitas ini menjadi wahana bagi siswa untuk mengenal lebih jauh sifat-sifat geometri, mengukur dimensi, menghitung volume dan luas permukaan, serta berpikir efisien dalam penggunaan bahan.
Sementara itu, pendekatan kedua berfokus pada pengukuran dan perbandingan bahan dalam resep Asam Kana. Siswa diajak untuk menghitung rasio antara gula, asam, garam, dan bahan lain dalam jumlah tertentu, disesuaikan dengan kebutuhan porsi yang berbeda. Kegiatan ini memberikan pengalaman belajar yang konkret dalam konsep perbandingan senilai, proporsi, pecahan, hingga konversi satuan. Melalui eksperimen sederhana yang dilakukan di kelas, siswa menyusun catatan takaran, membuat perbandingan dalam tabel, bahkan merepresentasikannya dalam bentuk grafik sederhana. Mereka tidak hanya belajar, tapi mengalami langsung bagaimana matematika bekerja dalam kehidupan nyata.
Seluruh kegiatan pelatihan ini dirancang dan dipandu oleh dosen-dosen dari FKIP USK, yaitu Dr. Elizar, S.Pd., M.Ed (MT), Dr. Dwi Fadhiliani, S.Pd., M.Mat., Dewi Annisa, M.Pd., Cut Yuni Nurul Hajina, S.Pd., M.Pd., dan Azbar Tanjung, M.Si.P. Proses pelatihan diawali dengan penggalian permasalahan yang dihadapi guru dalam mengembangkan pembelajaran kontekstual, kemudian dilanjutkan dengan pelatihan intensif penyusunan perangkat ajar seperti RPP dan LKPD berbasis proyek, hingga penerapannya langsung dalam proses pembelajaran di kelas.
Respons guru-guru SDN 57 Banda Aceh terhadap program ini sangat positif. Mereka tidak hanya terbuka terhadap pendekatan baru, tetapi juga semakin aktif dalam menyusun soal-soal bernalar tinggi (HOTS) yang relevan dan aplikatif. Di sisi lain, siswa pun tampak lebih antusias dan terlibat dalam pembelajaran karena mereka merasa apa yang dipelajari memiliki hubungan langsung dengan dunia mereka sehari-hari.
Kegiatan ini tidak hanya berdampak pada peningkatan pemahaman guru terhadap pendekatan PjBL, tetapi juga melahirkan keterampilan baru dalam merancang pembelajaran berbasis budaya lokal yang menyenangkan dan mendalam. Produk pembelajaran seperti LKPD tematik, dokumentasi implementasi di kelas, serta laporan pengabdian yang disusun menjadi bagian penting dari keberlanjutan program ini, dan dapat menjadi acuan untuk pengembangan serupa di sekolah lain.
Pelatihan ini membuktikan bahwa pembelajaran matematika bisa dikemas lebih hidup dan bermakna. Tidak lagi sekadar angka di papan tulis, tetapi hadir dalam bentuk desain kemasan, perbandingan takaran bumbu dapur, dan aktivitas nyata lainnya yang mampu menyentuh logika sekaligus rasa siswa. Dengan memanfaatkan kekayaan budaya lokal seperti Asam Kana, para guru berhasil menjembatani antara abstraksi matematika dan realitas sehari-hari.
Lebih dari sekadar proses mengajar, program ini menjadi ruang tumbuh bagi kreativitas, kemandirian, dan kecintaan terhadap budaya sendiri. Apa yang dilakukan di SDN 57 Banda Aceh selama beberapa bulan ini menjadi bukti bahwa pembelajaran terbaik bisa berangkat dari hal-hal sederhana yang dekat dengan siswa—bahkan dari sebuah masakan tradisional. Inilah wajah baru pendidikan yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menghidupkan makna belajar dalam konteks budaya dan kehidupan.